Terkesan
singkat sekali pertemuan kemarin, tiga hari bukankah waktu yang lama? Entah
kenapa pertemuan itu terasa seperi roket yang melesat begitu saja, sangat
cepat. Selama tiga hari, mulai dari pagi aku menjemputnya hingga malam aku
mengantarkannya pulang, seharian kami bersama, bergurau saat aku jalan
dengannya, mengelilingi kota dengan senyuman-senyuman yang meledak dari letupan
rindu, dan saling bergenggaman hanya untuk meyakinkan kalau pertemuan itu akan
ada lagi. Tapi entah kenapa harus ada perpisahan? Aku benci perpisahan, seakan
ia malaikat pencabut ‘rasa kebahagiaan’ kami berdua. Entahlah, hatiku kacau tak
bisa membedakan antara adil dan tak adil bagi kami yang dipisahkan dengan
jarak, mereka yang di sekitarku begitu mudah menemui kekasihnya yang membuat
dunia tak adil, menghakimiku. Tapi, rasa adil itu ada ketika pertemuan itu
hadir kembali dalam hubungan kami. Karena mereka yang bertemu setiap hari
dengan kekasihnya belum tentu merasakan rindu yang sedang kita alami saat ini,
tapi perpisahan membuat rasa itu tetap sama saja, tak adil.
Aku
tetap merasa aneh pada fikiranku yang selalu berkecamuk pada rindu. Seakan
dunia terhenti tanpa kehadirannya, tanpa melihat senyumnya di pagi hari. Aku
sadar, jarak yang hadir bukanlah kutukan bagi hubungan kami berdua, tapi Tuhan
seakan memperlakukan hubungan kita menjadi semakin rumit mungkin aku melihat
dari sisi ‘ketidak bersyukurnya’ aku, namun ketika aku renungkan kembali, aku
melihat banyak malaikat membantuku di sini, malaikat yang melahirkan
bayangan-bayangan keyakinan dari rindu yang ku panjatkan dalam do’a.
***
Sudah
enam bulan lebih pertemuan itu berlalu, terasa lama sekali apabila kita terlalu
merasakan ‘kerinduan’, namun akan terasa cepat jika kerinduan itu kita alihkan
dengan beberapa kesibukkan-kesibukkan yang positif. Di sisi yang berbeda entah
yang dia rasakan sangatlah berbeda dia tak sepertiku yang sibuk bekerja
seharian hingga malam justru aku lebih banyak mengambil lembur. Sedangkan
kegiatannya hanya kuliah dan tugas, hingga intensitas kerindunya mungkin lebih
banyak di dia. Selama sebulan ini entah yang
keberapa kalinya aku berantem dengannya, dia mudah mengeluhkan aku yang
sibuk, dia mudah terbawa emosi saat aku telat memberi kabar atau sedikit perhatian
yang dia butuhkan seperti apa yang kulakukan dulu, dia terlalu mudah terpancing
dengan kerinduannya, alhasil akulah korban keganasan kerinduannya. Mungkin jika aku tak bersabar menghadapinya tak akan
ada cerita ini.
Tiba-tiba
aku jadi ingat percakapan kemarin, saat aku telat mengabarinya, langsung saja
dia mengirimkan sms kepadaku, mungkin dengan nada sindiran bahkan keluhannya.
Percakapan yang panjang, menurutku sih, ini membosankan. Terlalu sinetron, tapi
entah kenapa kita sering melakukannya.
“Aku
gapapa kok ditinggalin terus. Terusin aja, lama-lama nanti kebal sendiri dan
gak akan rewel lagi kok. Serius” keluhnya,
dengan sms yang ia kirim padaku.
“Iya,
sih gpp ditinggal. tapi tetep aja suka ngeluh ini-itu di jejaring sosial,
seakan semua org harus denger kekurangan kita”. Aku membalas dengan
tegas.
“Lagian
kamu juga pengennya aku gak banyak protes dan gak banyak rewel kan?”
“Kamu
emang gak rewel, tapi di belakang, kamu tetep suka ngomongin kita, jejaring
sosial itu korban kerewelan kamu. sadar?”
“Jejaring
sosial kan gak ada kamunya, lagian kamu juga deketan sama banyak cewe kan di
sana? Satu sama lah”
"Loh,
'deket sama banyak cewek' itu maksudnya apa? Bisa dong kamu jelasin, aku di sini
gak ada deket sama siapa-siapa kok”
“Nethink
kamu udah over dosis tuh”
“Cuek
kamu juga overdosis”
“Hmmm.
Aku cuek? pasti masalahnya dari sini lagi, kamu gak bosan masalahin ini terus,
aku sih, iya”
“Aku
sih udah kebal juga sama cueknya kamu. Jadi gak dibahas juga gak masalah. Toh
kalau mau ngeluh kamu sibuk juga kamu males kan? ”
“Ya,
aku juga udah kebal sama sifat 'ngeluhnya kamu' toh kita juga bakal ketemu dan
mesra-mesraan lagi kan”
“Seyakin
apa bisa nemuin secepetnya? Hobi PHP, sih, iya kamu tuh, sayang”
“Lho,
aku gak pernah ngejanjiin bisa ketemuan. yang aku janjiin; "kita bakal
ketemuan kok, kamu yg sabar yaa" itu kataku”
“Nah
'bakal' nya itu, mending gausah gitu kan jadi gak ngarep akunya. Peka sama aku
yang udah lama kamu kenal masih susah ya? ”
“Dan
kamu ngerti sama kesibukkan aku juga masih susah kan? ujun-ujungnya pasti kayak
gini, bakal nyalahin satu sama lain”
“Enggak
nyalahin, cuma udah gabisa ngerasain apa-apanya sendirian. Beda loh”
“Aku
gak ngerti sama bahasa 'sok dewasa' kamu dan aplikasi yang kamu lakuin dengan
gaya 'kekanak-kanakan kamu' sekarang”
“Aku
juga gangerti sama yang katanya 'perhatian' tapi aplikasinya 'cuek' nya kamu
itu, gak cuma skrg malah. Tuh, yg ngajak berantem siapa? ”
Gak baik sih, kalau debat panjang terus cuma
mentingin 'siapa yg harus menang & ngalah', kita tuh gimana sih? menurut
kamu? ”
“Kita
itu ya aku dan kamu. Memang dua dalam satu sih, perdebatan ini memang proses.
Toh, dari awal aku selalu menerima kamu apa adanya”
“Kalau
aku masih banyak ngeluh, bawel, dan rewel. Aku juga butuh diimbangin kan
artinya? Aku juga gapernah minta semua waktu kamu untuk aku. Kamu tahu aku
gimana, mungkin keadaan udah jauh berbeda dari siapa kita yang dulu waktu kamu
gak sesibuk ini. Tapi aku masih butuh kamu”
“Tentunya,
aku juga punya sedikit waktu dari kesibukkanku yang begitu banyak menyita waktu
dan perhatianmu teralihkan”
“Aku
juga gak berharap banget kamu bisa bersikap sedewasa mungkin, aku cuma berharap
kamu gak terlalu banyak nuntut”
“Sifat
rewel itu yg bikin aku ngerasa semakin bersalah & frustasi, gak tau mana
yang mesti diselesaikan. makanya aku cuek”
“Kamu
sibuk bukan berarti aku gak butuh kamu kan? Iya kan? Aku juga rewel, dan minta
seseorang ada di sisi aku itu cuma sama kamu”
“Sekeras
kepala apapun kita, kita tetap saling membutuh kan, kamu butuh perhatianku dan
aku juga butuh semangat kamu.”
“Tolong
jangan terlalu berorientasi bahwa dengan kau cuek, aku akan baik-baik saja. Aku
hanya minta itu”
“Oke,
dengan senang hati, perdebatan malam ini. aku yang sangat bersalah,
membiarkanmu begitu saja dari kemarin-kemarin, bisakah kau membuat keadaan kita
menjadi baik-baik saja, tanpa mengutamakan sifat 'egois' di antara kita”
“Ya,
aku tahu aku juga belum jadi yang terbaik. Tapi aku tahu aku berusaha
menyesuaikan diri”
“Baguslah
kalau begitu, aku juga sedang menyesuaikan diri bagaimana membagi waktu yang
tak banyak ini agar sebisa mungkin aku ada saat kau butuh, meskipun jauh”
“Jangan
mengucapkan apa yang membuatkau berfikir ulang bahwa kau tak sungguh-sungguh.
Sudah sudah, aku sedang tak ingin bertengkar lagi”
Terkadang, jika wanita sedang merindukan kekasihnya, rasa pengertian
yang dia miliki sedikit mengurang bahkan tidak ada, karena yang ia rasakan
bukanlah ingin mengerti yang sibuk, melainkan ingin dimengerti. Di sanalah
tugas pria, harus sesabar mungkin mengontrol emosi yang dimiliki, kunci dari menahan
keegoisan itu bukan melawan, melainkan meredamkan salah satunya. Atau mengalah
‘merasa bersalah’ jauh lebih baik, demi menyalamatkan hubungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar